by

NASIB PEREMPUAN DAN ANAK INDONESIA DI AREA TAMBANG

Jakarta,-Sorotperadilan.com l Saya lupa tepatnya kapan, namun yang saya ingat kejadian ini sekitar tahun 2017 (?) Dimana seorang nara-sumber yang diselenggarakan ICW di Kalibata, Jakarta Selatan lalu adalah seorang aktifis Perempuan bernama Siti Maemunah (mohon maaf jika salah)

Acara diskusi Itu
Tidak hanya soal korupsi, yang lebih menarik ada materi yang membahas soal eksploitasi Tambang, Perempuan Dan anak.

Kata Siti, dampak aktivitas pertambangan terhadap kehidupan perempuan Dan anak demikian panjang. Mulai dari awal ketika tambang masuk ke suatu daerah untuk beroperasi, perempuan Dan anak dianggap tidak perlu dilibatkan, hak-haknya diabaikan. Hingga kemudian ketika tambang beroperasi dan terjadi kerusakan lingkungan di sekitarnya, perempuan Dan anak pun menjadi pihak yang pertama menerima dampak dan yang paling dirugikan. Bahkan ketika tambang sudah tutup dan meninggalkan lokasi, perempuan Dan anak tetap menghadapi persoalan. Polusi udara sehat minim, sanitasi air bersih minim, area hijau berkurang, wabah penyakit, dsb

Juga hal yang sama yang penulis rasakan adalah efek Banjir Bandang Desa Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten lalu. Pada Hari ke-5 pasca Banjir disaat semua orang masih berkutat dengan masalah distribusi bantuan sembako Dsb. Ada ruang Perempuan Dan usia Anak yang terabaikan.

Presiden Jokowi pun harus merasa turun langsung kelapangan Dan menuding keras bahwa penyebabnya adalah adanya Penambang Liar dikawasan Hulu Pegunungan Halimun yang mengakibatkan erosi dan sedimen sampah disungai. Sehingga curah hujan yang membawa sampah apapun melaju cepat ke Desa Desa terdekat

Entah bagaimana kelanjutannya, yang jelas Banjir Itu mengakibatkan hampir separuh rumah didesa tersebut lenyap dan hancur terbawa Banjir, belum termasuk rumah ibadah, sekolah’, Dan juga korban hilang dan tewas lebih dari 7 orang.

Dihari ke-5 (5/1/2020) penulis berada disana, tampak rasa frustasi para warga khususnya usia anak menghiasi suasana, semuanya hanya terdiam di barak-barak pengungsian dengan muka lelah, karena mereka tidak bisa lagi bermain bebas, tidur cukup, sanitasi baik, tidak bersekolah, mengaji ke Musholla, dsb.

Ketidak-tegasan atau apapun Itu, menunjukkan banyak penambang liar yang Kemudian beresiko menimbulkan musibah, sebagaimana sebelum kejadian di Lebak Itu, korban pun terjadi saat puluhan penambang emas tanpa izin (Peti) di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulawesi Utara, tertimbun longsor, Selasa (26/2/2019) pukul 21.00 WITA Lalu. Kalau pun Informasi ya ‘lalu lalang, lebih dari 14 Penambang luka, 4 tewas Dan seorang hilang.

Bahkan sekitar bulan Juli ditahun yang sama, terjadi kembali, belasan Penambang pun terluka.

Kompas sekitar Oktober 2019 Menyatakan bahwa Pegiat lingkungan menyebut terdapat nyaris 1.800 lubang tambang di Kaltim. Sementara jumlah versi pemerintah hanya mencapai sekitar 500 lubang.

Kompas juga mewartakan, setidaknya 36 orang, yang sebagian besar anak di bawah umur, meregang nyawa di lubang tambang bekas galian batu bara di sejumlah wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) sejak 2011.

Semua lubang tambang dibiarkan menganga oleh perusahaan meski mereka secara hukum wajib mereklamasi bekas galian setelah eksplorasi.

Pertanyaan penulis, Bukankah provinsi Kaltim ini bakal menjadi tuan rumah ibu kota baru?

Para pembaca dimana pun anda berada, Umumnya para Penambang adalah suami/kepala Keluarga’ yang akan berdampak kepada Ekonomi dan kesejahtraan Keluarga’, istri dan anak-anak khususnya. Mereka tentunya akan bersikeras bahwa semua Itu adalah untuk ‘mencari nafkah. Dan, kalau sudah demikian, ‘Pusing kepala berbi, Dan ‘Sakitnya tu disini…

Belum lagi jika kita bicara tentang efek negatif penambangan di Papua sejak tahun 1967 lalu, khususnya efek-negatif bagi Perempuan dan usia anak disana, bukan hanya efek sanitasi atau merkuri belaka, tapi adakah ini juga yang kemudian berdampak tetap tingginya angka kemiskinan bahkan tingginya jumlah penderita Hiv/Aids-nya?, Yang jelas pasti lebih horor !

Para Pembaca dimana pun anda berada,
Maka kita berharap banyak atas adanya MoU tentang Perlindungan Anak di Wilayah Pertambangan Emas Rakyat Skala kecil antara KPAI & Yayasan Emas Artisanal Indonesia, Jumat (6/3) lalu di Kantor KPAI.

Dimana mereka menyerukan Pentingnya Perlindungan Hak Anak di Wilayah Pertambangan Emas Skala Kecil

Hadir dalam acara tersebut, Ketua KPAI – Dr. Susanto, MA beserta anggota komisioner KPAI, Ketua YEAI – Supriyanto, Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak KemenkoPMK – Ghafur Akbar Dharma Putra, Dan Co- Project Manajer (Indonesia) AGC – Richard Gutierrez.

Di acara Itu, Komisioner KPAI – Putu Elvina menjelaskan bahwa ruang lingkup MoU terkait pemetaan profil perlindungan anak di wilayah tambang emas di Kalimantan Tengah (3 wilayah di Parenggean) Dan Sulawesi Utara (Tatelu dan Tobongon).

Kami berharap Program ini bukan hanya sekedar ‘seremoni, namun menjadi masukan dan langkah kongkrit terkait upaya pemenuhan hak anak yang berimplikasi pada tanggung jawab untuk perlindungan anak dari paparan merkuri dan praktik pekerja anak.

Penulis juga saat diacara Itu, memohon kepada KPAI agar menjadi ‘Leader dan terus berperan lebih aktif terhadap ratusan bahkan ribuan IUP-Ijin Usaha Pertambangan yang sedang ‘di-moratoriun Presiden Jokowi, khususnya mencegah efek-efek negatif bagi Perempuan dan anak Indonesia sebagaimana selama ini . ‘Apa bisa !? (Arief P.Suwendi, Dewan Redaksi sorotperadilan.com/foto.repro)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed