by

KUPAS KOLOM: PERNYATAAN ADE YASIN LECEHKAN PROFESI WARTAWAN, PECAH BELAH KOMUNITAS PERS.

Oleh Hero Akbar N., Pemimpin Redaksi KupasMerdeka.com

Bogor,– sorotperadilan.com l
Di era keterbukaan seperti ini, tampaknya Bupati Bogor Ade Yasin masih belum memahami sesungguhnya bagaimana bersikap terhadap insan pers. Alih-alih mendorong jajarannya untuk bersikap terbuka dan menyambut baik komunikasi dengan wartawan, ia malah menanamkan sikap curiga dan suudzon terhadap para pejuang informasi. Sungguh sebuah pendekatan yang tidak pantas dan tidak patut keluar dari mulut seorang politisi berkaliber tinggi seperti Ade Yasin, yang sudah malang melintang di dunia perpolitikan sejak lama. Mungkin beliau punya pengalaman buruk dengan wartawan.

Saya merujuk kepada pernyataan yang disampaikan oleh Ade Yasin saat Bupati Bogor itu berkunjung ke Kecamatan Klapanunggal, Kabupaten Bogor, dalam Rebo Keliling (Boling) nya kemarin 16/6/2021. Berikut di antara baris-baris pernyataan Ade Yasin tentang wartawan “bodrek” pada kesempatan itu, yang saya kutip dari laporan media:

“Harus berani, jika memang kita tidak salah langsung laporkan, jangan takut.”

“Wartawan bodrek atau bodong tidak memiliki legalitas yang jelas. Bahkan, pihak yang merugikan, apalagi jika mengancam dengan tujuan pemerasan untuk memperoleh sesuatu.”

“Jangan buat masalah, kalau tidak salah kita harus berani. Nanti mereka (wartawan bodrek) akan terkikis dengan sendirinya. Bila perlu laporkan ke kepolisian bila terbukti membuat masalah.”

“Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolres Bogor, dan akan ditangkap oknum-oknum tersebut. Kita akan jamin keamanan kepala desa, jika ada yang mengganggu apalagi melakukan tindak pemerasan.”

“Hari ini saya bawa wartawan asli untuk kegiatan boling ini… Wartawan bodrek pasti minggir.”

Tentulah keberadaan wartawan “abal-abal” yang melakukan pemerasan merupakan sebuah masalah, dan ini bukan sebuah masalah yang unik. Bahkan bukan sesuatu yang unik dalam artian hanya ada di kalangan komunitas insan pers. Setiap orang yang memiliki informasi yang merugikan orang lain memiliki tiga pilihan: melaporkannya kepada pihak yang berwajib, mengungkapnya kepada publik, atau membiarkannya. Untuk setiap pilihan itu, kalau dia berniat buruk, dia bisa saja meminta imbalan. Inilah yang kadang dapat disebut dengan pemerasan. Dan ini bisa dilakukan oleh siapa saja, bukan hanya wartawan.

Di sisi lain, prinsip keterbukaan informasi juga mewajibkan para pejabat publik untuk bersikap terbuka, baik itu kepada warga biasa maupun kepada wartawan.

Seharusnya Bupati Ade Yasin menanamkan sikap terbuka itu kepada jajarannya, dan menanamkan sikap positif terhadap para pencari informasi. Pers juga merupakan kontrol sosial, yang gunanya memacu para pejabat publik untuk bertindak benar dan tidak mengkhianati amanat yang diberikan kepada mereka oleh rakyat.

Bicara tentang amanat dari rakyat, ini sungguh merupakan tanggung jawab dan beban yang besar. Wartawan adalah bagian dari rakyat. Sedangkan para pejabat itulah yang harus diawasi kinerjanya, dan merekalah yang bisa dengan mudah menemui banyak celah untuk mengambil keuntungan dari jabatan yang mereka emban. Sehingga, sebaiknya bu Ade Yasin memberikan pengimbang bagi pernyataan itu. Seperti ini: “Kalian sebagai pejabat publik juga harus bersikap terbuka dan jangan sekali-kali menyalahgunakan wewenang. Kepada seluruh warga dan wartawan, siapapun dari pejabat publik ini yang kedapatan menyalahgunakan wewenang, janganlah diperas. Laporkan kepada saya, dan saya tidak akan segan untuk mengambil tindakan tegas atau bahkan tindakan hukum.”

Sayang sekali bu Ade Yasin memilih untuk menanamkan sikap suudzon dan memecah belah komunitas insan pers dengan label “bodrek”, “bodong”, dan istilah-istilah lainnya yang melecehkan profesi mulia ini. Dia juga dengan arogan berkata bahwa dia membawa “wartawan asli” untuk meliput kegiatannya.

Oh! Wartawan asli! Bupati Ade Yasin mulai menyerempet ke soal kebebasan pers, yang dijamin undang-undang.

Apa itu wartawan asli? Apakah dia wartawan yang nurut kepada narasi pemerintah? Apakah dia wartawan yang berteman dengan pemerintah? Atau dia bagian dari perusahaan pers yang memiliki kedekatan dengan elemen pemerintah? Sedianya bu Ade Yasin mengklarifikasi pernyataannya ini.

Sebenarnya, di era keterbukaan dan kebebasan pers, pada prinsipnya tidak ada “wartawan asli” atau palsu atau abal-abal dan sebagainya. Yang ada hanyalah orang-orang pencari informasi. Wartawan, yang bernaung di bawah perusahaan pers dan organisasi pers, adalah pencari informasi yang profesional. Yakni, mereka melakukannya sebagai profesi dan mata pencaharian. Kalau ada yang merasa ditakut-takuti atau diperas, maka yang bermasalah sebenarnya bukan pencari informasinya, tapi dirinya sendiri yang ogah bersikap terbuka, atau mungkin menutupi sesuatu.

Sungguh, sangat mudah bagi pejabat yang merasa diperas oleh siapapun, mereka tinggal melaporkannya kepada polisi, tidak perlu Bupati berkoar-koar di hadapan publik seperti ini.

Masalah yang dihadapi rakyat dan para pejabat publik dalam membangun negeri ini begitu banyak dan jauh lebih besar dari urusan “bodrek”. Bahkan dalam hal media, publik masih seringkali disuguhkan oleh pemberitaan yang tendensius, berita palsu (fake news), hoax, dan beragam berita-berita sampah yang tidak bermutu yang dimuat di semua lapisan media dari yang kecil hingga media-media arus utama. Ini sungguh masalah yang jauh lebih besar dari wartawan “bodrek” di desa-desa.

Wartawan adalah profesi yang mulia dan sangat penting. Lecehkan wartawan, maka wartawan tidak akan tinggal diam. Bupati Bogor Ade Yasin cepat atau lambat akan menyadari itu. Red.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed