Depok, – Sorot Peradilan //
Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 di SMAN 5 Kota Depok telah berakhir, namun meninggalkan sejumlah pertanyaan terkait kepatuhan terhadap prinsip keadilan dan transparansi yang dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kasus AZ, calon siswa yang memenuhi syarat administratif namun gagal lolos jalur prestasi non-akademik, memicu sorotan publik atas dugaan pelanggaran UUD 1945, UU Sisdiknas, dan peraturan turunannya. Senin (14/07/2025).
Menurut Ibu Nurie, perwakilan panitia SPMB SMAN 5 Depok, seleksi dilakukan melalui sistem akumulasi skor sertifikat prestasi dan tes terstandar. “Semua proses transparan dan dapat dilihat di web SPMB Pusat,” jelasnya melalui pesan WhatsApp, (14/06/2025). Ia bersikukuh bahwa proses seleksi telah sesuai dengan Permendikbud No. 44/2019 tentang PPDB dan Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 27/2021. Namun, muncul indikasi kuat pelanggaran terhadap UUD 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menjamin hak atas kepastian hukum yang adil; UUD 1945 Pasal 31 ayat (1) tentang hak setiap warga negara untuk mendapat pendidikan; UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas Pasal 5 ayat (1) yang menjamin kesetaraan hak pendidikan; serta UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan transparansi informasi.
Meski Permendikbud No. 44/2019 mengatur kuota jalur prestasi minimal 30%, SMAN 5 Depok hanya menerima 18 siswa dari 70 pendaftar tanpa klarifikasi resmi tentang alasan pembatasan. Padahal, Peraturan Gubernur Jabar No. 27/2021 membuka opsi penambahan kuota hingga 50 siswa per rombongan belajar untuk mengakomodir siswa berprestasi. AZ, pemegang sertifikat Elite Cup tingkat kota dengan skor 150, dinyatakan tidak lolos karena tidak memenuhi passing grade. Kecurigaan muncul ketika terungkap adanya rapat tertutup antara sekolah, perangkat desa, dan ASN untuk membahas “kuota tambahan” yang tidak diumumkan secara transparan ke publik.
Camat Depok, Pak Anuar, menyatakan pertemuan hanya membahas program Jm malam dari Pemprov Jabar. Sementara Kepala SMAN 5, Sopiyana, mengaku mengundang lurah dan camat untuk menyosialisasikan kuota tambahan bagi ‘orang sekitar’. Ketidaksesuaian pernyataan ini mengindikasikan pelanggaran prinsip akuntabilitas menurut UU No. 25/2009 tentang Pelayanan Publik dan berpotensi maladministrasi berdasarkan UU No. 37/2008 tentang Ombudsman RI.
NASKAN SHI., MH., pakar hukum, menegaskan tiga poin krusial. Pertama, pelanggaran UU Sisdiknas dapat berakibat sanksi administratif bagi sekolah berdasarkan PP No. 17/2010. Kedua, masyarakat berhak mengajukan gugatan ke Komisi Informasi Publik jika sekolah menolak membuka data seleksi. Ketiga, keluarga AZ dapat mengajukan gugatan ke PTUN jika kebijakan seleksi dinilai diskriminatif.
Masyarakat menuntut tiga langkah konkret. Audit independen oleh Inspektorat Jabar sesuai PP No. 60/2008; intervensi Dinas Pendidikan untuk memastikan Permendikbud No. 44/2019 dilaksanakan secara konsisten; serta sosialisasi hak publik tentang perlindungan dari diskriminasi di bidang pendidikan berdasarkan UU No. 12/2005.
ASEP RACHMAT, Ketua LSM GIPERS, menegaskan, “Ini bukan sekadar persoalan teknis administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional warga negara. Kami mendesak pemerintah daerah dan Kemdikbud untuk segera mengambil tindakan tegas guna memulihkan kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan kita.”
Dugaan maladministrasi dan ketidaktransparan dalam SPMB SMAN 5 Depok ini menjadi ujian bagi komitmen pemerintah dalam menjalankan prinsip good governance di sektor pendidikan.
Pewarta : Denny Aldy
Comment