Bogor,-Sorotperadilan.com l Panic buying adalah sebuah situasi di mana banyak orang tiba-tiba membeli makanan, bahan bakar, dll sebanyak mungkin karena mereka khawatir akan sesuatu yang buruk yang mungkin terjadi. Itu lumrah, namun bagaimana ceritranya jika yang panik Itu adalah pemerintah?
“Maksudnya bagaimana bang?”, Kata Wawan Kurniawan saat rehat buka puasa barusan (Minggu,10/5)
Era Covid 19 banyak kepala daerah yang ‘euphoria tepatnya demam panggung saat Presiden Jokowi menggelontorkan bantuan kepada mereka senilai lebih dari Rp.400 trilyun?
Seolah anak kecil yang baru dikasih uang jajan mereka pun sibuk belanja, memborong kebutuhan sembako ‘demi rakyatnya. Beras, telor, minyak, gula, mie instant dsb. Tidak sadar ini awal kehancuran Ekonomi rakyat, penimbunan sembako atas nama korban Covid 19?, sehingga barang barang tersebut langka dipasaran kalau pun Ada pasti harganya Mahal.
Jokowi tersenyum, sebenarnya bukan itu maksudnya. Beliau berharap kepala daerah melakukan Inovasi, yang paling tersederhana adalah melibatkan RT/RW, bagaimana Cara dibuat satu sistim kepala daerah transfer uang melalui kas RT/RW karena validitas korban terdampak yang logis ada dikantong mereka. Butuh waktu?, Tidak apa yang penting ‘tepat guna, tepat sasaran. Bank Daerah pun ikut difungsikan secara maksimal. (Kemudian saya menghentikan bicara, menyeruput wedang jahe panas dari abang penjaja yang lewat depan stasiun KA Bogor Itu)
Kalau selama ini pemerintah menghimbau agar masyarakat tidak ‘panic-buying, demikian sebaliknya bagi para kepala daerah. Belum saja mereka ‘merapihkan data agar tidak over-lapping, mereka sudah ‘sibuk belanja dan sibuk conference-pers. Nyatanya?, minimnya pengawasan membuat semua malah jadi kacau.
Kali ini saya tidak menyoroti kekacauan serupa yang ada di DKI Jakarta, lihat saja di Jawa BARAT, Kampung halaman Kita. Banyak kasus Dan kejadian serupa ‘panic buying Itu dan kekacauan data penerima
Di Kabupaten Bandung BARAT (KBB), Ada sembako dengan isi daging ayam yang busuk. Tepatnya di Desa Citapen, kec. Cihampelas. Bahkan kini menjadi urusan Polisi.
Juga yang di Kota Bogor, kalau pun bukan masalah ‘Panic Buying, namun ada hal sama dengan daerah lain yaitu ricuhnya Pembagian bantuan sembako kepada warga di Kota Bogor. Kericuhan terjadi karena data penerima tidak sesuai dengan di lapangan. Misalnya, banyak penerima bantuan yang sudah meninggal, bahkan pindah domisili. Cilakanya data Itu adalah bersumber dari data tahun 2017. Sekali lagi pertanyaannya mengapa tidak ambil data terbaru yang dimiliki para Ketua RT/RW?
Ini diakui oleh
Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim,
“Iya karena data yang digunakan data tahun 2017,” ujar Dedie di Bogor, Selasa (21/4/2020) lalu.
Juga di Kabupaten Garut, ditemukan 4 ton telur yang busuk diantara ribuan paket sembako yang tertahan di Gudang Bulog Garut. Karena pemerintah setempat saat ini masih sibuk menghitung dan memvalidasikan data penerima sembako atau yang ‘kerennya disebut ‘Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
Kalau pun harga telor ayam saat ini berkisar Rp.16-20.000/kg, Dan nilai 4 ton Itu hanya Rp.80 juta, bukan disitu masalahnya, karena dengan senilai Itu seharusnya sudah dapat menjadi 534 paket sembako dengan nilai @Rp.150.000/paket.
Saya dan Wawan terdiam, juga tukang wedang jahe itu.
“Terus kenapa Kang Emil yang harus ditegor, bang?”, Tanya Wawan.
“Terus siapa yang harus kita tegor, Masa tukang wedang jahe Itu?”, Jawab saya. Sontak si tukang Wedang Jahe bergegas meninggalkan kami sambil berteriak. “Saya nggak mau kang,.. Saya nggak mau Kang !” (PpRief/Wan/RL)
Comment